Barangkali bukan hal yang baru bila Dinas Pusat Intelijen
Amerika Serikat (CIA) pernah berusaha menggulingkan bahkan berniat membunuh
mantan Presiden
Sukarno. Namun setidaknya dua buah buku yang ditulis warga AS
menyingkap keterlibatan CIA di Indonesia itu.
Buku pertama ditulis William Blum, dengan judul Killing Hope: U.S. Military
and CIA Interventions Since World War II terbit tahun 1995. Buku kedua Subversion
as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia
yang ditulis pasangan sejarawan Audrey and George McT. Kahin, juga terbit tahun
1995.
Buku terakhir ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr. R.Z.
Leirissa di bawah judul "Subversi sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap
Keterlibatan CIA di Indonesia" dan diterbitkan Pustaka Utama Grafiti tahun
1997.
Simak apa yang dikemukakan Frank Wisner, Wakil Direktur CIA yang membawahi
operasi-operasi bawah tanah, seperti dikutip dalam buku William Blum.
"Saya pikir," kata Wesner pada musim semi tahun 1959, "Sudah
waktunya kita gulingkan Sukarno."
Para pejabat CIA tidak senang dengan Sukarno, tokoh yang memimpin perjuangan
rakyat Indonesia dan memproklamirkan kemerdekaan negeri itu dari penjajah
Belanda beberapa tahun sebelumnya.
Ketidaksenangan itu akibat Sukarno dianggap terlalu memberi angin kepada PKI.
Padahal, AS yang takut akan bahaya merah "Teori Domino" berusaha
membendung penyebaran komunisme di Asia Pasifik.
Ketidaksenangan pejabat CIA itu menjadi-jadi ketika Sukarno menyelenggarakan
Konferensi Asia Afrika di Bandung sebagai tandingan Organisasi Traktat Asia
Tenggara (SEATO), sebuah pakta pertahanan yang dibentuk AS untuk membendung komunisme
di kawasan Asia Pasifik.
Konferensi Asia Afrika mengeluarkan doktrin Non Blok, yakni netralitas
negara-negara Asia Afrika atas persaingan Timur-Barat (Uni Soviet-AS) selama
Perang Dingin. Bagi pejabat CIA yang ditempatkan di Jakarta, Konferensi Asia
Afrika itu begitu membahayakan kepentingan Amerika dan sekutunya, sehingga
muncul gagasan melakukan pembunuhan terhadap pemimpin Gerakan Non Blok sebagai
upaya sabotase untuk menggagalkan konferensi penting tersebut.
Pada tahun 1975, Komite Senat AS yang menyelidiki kasus keterlibatan CIA dalam
upaya pembunuhan pemimpin Gerakan Non Blok itu, mendengarkan kesaksian pejabat
CIA yang bertugas di negara-negara Asia Timur.
Dalam kesaksian pejabat CIA yang tidak disebutkan namanya itu terungkap bahwa
"Seorang pemimpin Asia Timur perlu dibunuh untuk menggagalkan Konferensi
Komunis (maksudnya Konferensi Asia Afrika) pada 1955". Komite Senat
menduga bahwa pemimpin Asia yang perlu dilenyapkan itu Sukarno dari Indonesia
atau Chou En-lai dari Cina.
Dalam kesaksian itu juga terungkap bahwa usulan dari pejabat CIA di Asia Timur
untuk membunuh Sukarno atau Chou En-lai itu ditolak oleh pimpinan CIA di Markas
Besarnya di Washington DC.
Meski demikian, sebuah pesawat yang membawa delapan anggota delegasi Cina yang
akan menghadiri Konferensi Asia Afrika meledak di angkasa dan jatuh secara
misterius. Pemerintah Cina mengklaim bahwa kasus itu merupakan satu tindakan
sabotase yang dilakukan AS dan Taiwan dalam upaya membunuh Chou En-lai.
Pesawat carter Air India yang nahas itu bertolak dari Hongkong pada 11 April
1955 dan jatuh terbakar di Laut Cina Selatan. Chou En-lai dijadwalkan terbang
ke Bandung menggunakan pesawat Air India yang sama satu atau dua hari kemudian.
Polisi Hongkong yang menemukan bekas jam yang menjadi bagian dari bom waktu di
reruntuhan pesawat menyebut kasus itu sebagai "pembantaian massal yang
direncanakan dengan matang."
Masih dalam buku William Blum disebutkan juga bahwa Komite Senat AS dilaporkan
telah "menerima sejumlah bukti-bukti keterlibatan CIA dalam rencana
pembunuhan terhadap Presiden Sukarno dari Indonesia". Rencana tersebut
dilaporkan sudah pada tahap "mengidentifikasi siapa agen yang bisa
direkrut untuk tugas (membunuh Sukarno) itu."
Peristiwa Cikini
Belakangan CIA makin tidak senang dengan Sukarno karena Presiden pertama RI itu
terus muncul menjadi "pemimpin Gerakan Non Blok dan pergerakan
anti-imperialisme dari Dunia Ketiga serta seorang pelindung PKI."
Kasus percobaan pembunuhan atas Sukarno pada 30 Nopember 1957 yang disebut
Peristiwa Cikini misalnya terjadi 36 jam setelah Sukarno memerintahkan
pengambil alihan properti Belanda dan pengusiran atas 46.000 orang Belanda dari
Indonesia.
Menurut Audrey dan George Kahin dalam bukunya "Subversi sebagai Politik
Luar Negeri", pada malam tanggal 30 Nopember itu, ketika Sukarno
meninggalkan sebuah sekolah di wilayah Cikini, Jakarta, dengan disertai dua
puteranya, beberapa granat tangan dilemparkan dalam upaya membunuhnya.
Seorang ajudan menyelamatkan Sukarno dengan mendorongnya agar bertiarap begitu
granat pertama meledak, tetapi 11 orang terbunuh dan sedikitnya 30 orang luka
parah. Sebagian besar korban adalah murid sekolah.
Peristiwa Cikini, nama yang kemudian diberikan bagi peristiwa itu, mempunyai
akibat yang luas bagi kehidupan politik dan militer Indonesia.
Orang yang saat itu dan di kemudian haru menjadi tersangka utama adalah Kolonel
Zulkifli Lubis, mantan Direktur Badan Intelijen Angkatan Darat dan Wakil KASAD
yang juga menjadi salah satu calon KASAD pada 1955 ketika Nasution diangkat
untuk menduduki jabatan itu.
Menurut keterangan resmi pemerintah tentang Peristiwa Cikini, organisasi Lubis
mencerminkan upayanya untuk membangun kelompok para militer yang anti-komunis
di Jakarta yang dinamakan Gerakan Anti Komunis (GAK), yang juga anti Nasution
dan anti Sukarno.
Lubis sendiri bersembungi dan kemudian muncul di Sumatera Barat dan mendapat
perlindungan dari Kolonel Hussein yang membangkang terhadap Jakarta.
Jauh sesudah itu, ketika muncul bukti-bukti nyata CIA membantu para kolonel yang
membangkang di Sumatera dan Sulawesi, Sukarno menjadi yakin CIA-lah yang berada
di belakang Peristiwa Cikini.
Benar tidaknya CIA turut memainkan peranan dalam percobaan pembunuhan atas
Sukarno tetap tidak jelas. Apapun faktanya, Sukarno menganggap Peristiwa Cikini
"didalangi CIA" dan merasa yakin Lubis "bertindak untuk dan
didukung oleh CIA."
Beberapa bulan kemudian CIA bekerjasama dengan Lubis dan para kolonel
pembangkang lainnya untuk menggeser presiden, Sukarno menjadi yakin sekali CIA
tetap ingin "menanganinya."
Tampaknya, demikian kesimpulan Audrey dan George Kahin, Sukarno tidak pernah
melepaskan keyakinan itu sampai tergeser dari kedudukan sebagai presiden
delapan tahun kemudian. Apalagi, sejumlah fakta dan dokumen lain, mendukung
keyakinan itu.
Misalnya saja, setelah gagal menggoyang Sukarno dari kursinya lewat
pemberontakan-pemberontakan yang didukung CIA, Dinas Rahasia AS itu masih terus
berusaha "menangani" Sukarno.
Sebuah memorandum CIA bulan Juni 1962 membuktikan hal itu. Penulis memo tersebut,
yang namanya kemudian dihapus, melaporkan adanya pembicaraan dari kalangan
diplomat Barat mengenai pertemuan antara Presiden AS John F Kennedy dengan
Perdana Menteri Inggris Macmillian.
Menurut memo pejabat CIA itu, Kennedy dan Macmillian berusaha untuk mengucilkan
Sukarno di Asia dan Afrika.
"Kedua pemimpin itu sepakat untuk melikuidasi Presiden Sukarno, tergantung
pada situasi dan peluang yang ada. Tidak jelas bagi saya apakah pembunuhan atau
penggulingan yang dimaksudkan dengan kata 'likuidasi' tersebut," demikian
ditulis pejabat CIA dalam memo rahasia yang dikutip oleh William Blum.
No comments:
Post a Comment